Monday 1 August 2011

Keras Kepala = Motivasi Tinggi

Jadilah Orang Yang Keras Kepala!
Dua begawan Donald Trump dan Robert Kiyosaki sempat wanti-wanti, baik dalam kehidupan sehari-hari, bisnis,
investasi, karya maupun bidang lainnya, kita mesti berpikir untuk menang, bukan sekedar tidak kalah.

Terkait itu, saya sreg sekali dengan General Electric (GE) - perusahaan terbesar nomor dua di dunia. Berawal pada
tahun 1876, mengandalkan kekuatan teknologinya, GE kemudian merambah peralatan rumah tangga, lampu listrik,
finansial, mesin jet pesawat, pembangkit nuklir, dan lain-lain.

Lantaran seradak-seruduk di segala lahan, mulai dekade 1970-an GE menjelma menjadi raksasa gemuk yang tidak
lincah dan boros. Untunglah, pada tahun 1981 GE dinahkodai figur luar biasa bernama Jack Welch. Dengan teriakan,
"Fix, Close, Sell!" ia pun melego 200 anak perusahaannya dan mengakuisisi 1.700 perusahaan lainnya. Kriteria melego
atau mengakuisisinya sederhana saja, menjadi nomor satu atau menjadi nomor dua di bidangnya. Apabila tidak, GE
akan melupakan bidang tersebut. Istilah lainnya, memastikan menang, bukan sekedar tidak kalah.

Saat Jack masuk, nilai GE adalah US$ 14 miliar. Sewaktu ia keluar 20 tahun kemudian, nilainya meloncat setinggi
US$130 miliar. Kalau boleh sombong, tidak ada seorang pun pemimpin di muka bumi ini yang sanggup melipatgandakan
nilai seperti itu, selain dirinya. Akhir-akhir ini, GE dinilai sebesar setengah triliun dolar dan tahun 2006 merek GE dihargai
sebesar US$ 48.907 juta. Jadilah GE salah satu merek paling mahal di jagat ini. Dan ini semua berakar dari filosofi
menang, bukan sekedar untuk tidak kalah.

Ditanah air, sedikit-banyak Ciputra Group, Kem Chicks, dan Astra International juga mengamalkan falsafah itu. Di segala
medan, mereka bertarung untuk menang, bukan sekedar tidak kalah. Dan percaya atau tidak, pijakan utama untuk
meraihnya adalah dengan menjadi orang keras kepala. Tentunya, dalam artian gigih, bukan ndableg asal-asalan. Tolong
di-highlight itu. Sayangnya, selama ini Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang ramah, bukan bangsa yang gigih.
Kalau Jepang dan Korea, barulah disebut-sebut sebagai bangsa yang gigih.

Catatlah, baik Ciputra, Bob Sadino, maupun William Soerjadjaja juga pernah pailit bahkan terbelit utang. Tidak
terkecuali. Setidak-tidaknya pada periode-periode tertentu. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak kepikir untuk balik
kampung. Alih-alih begitu, mereka malah terus maju. Kini, mereka adalah ikon di jalurnya masing-masing.

Seorang ekonom asal Bangladesh - Muhammad Yunus_ akan menunjukan kepada kita semua apa yang dimaksud
dengan gigih. Obsesinya ketika itu adalah bagaimana bank-bank setempat dapat menyalurkan dan mengulurkan kredit
kepada warga yang sangat miskin. Bayangkan saja banyak diantara mereka mengharapkan pinjaman berkisar 12.000
rupiah.

Ide yang sangat mulia ini sempat ia sodorkan kemana-mana, namun ternyata semua pihak cuma menggelengkan
kepala. Sepintar apapun ia berargumen, tetap saja bankir dan pejabat pemerintah berdalih,"Orang melarat tidak layak
dikucur kredit." Untunglah, ia termasuk orang yang gigih. Ia tanggalkan dan tinggalkan cara pandang seekor burung. Alihalih
begitu, ia malah mengenakan cara pandang seekor cacing, dimana ia berusaha mangetahui apa yang terhampar
tepat didepan mata. Dengan mengendusnya. Dengan menyentuhnya.

Mulanya, ia hanya menjadi semacam penjamin bagi warga yang sangat miskin. lama-kelamaan, ia menjadi perintis
banknya sendiri-tentu saja sesuai dengan konsep yang ia cita-citakan sedari awal. Namanya Gremeen Bank. Tanpa
diduga-duga, kini bank itu berhasil menangani 46.000 desa di Bangladesh melalui 1.200 cabang. Atas jasanya yang
tidak mengenal lelah tersebut ia pun dianugerahi Nobel Perdamaian. Itulah buah dari kegigihan.


Jangan Lupa Baca Yang Ini Juga!!!:

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Harnadi Hajri, S.pd | Bloggerized by Wahana corp - Indonesia | LPPM Wahana Education